Saturday, May 30, 2015

Tugas Kesehatan Mental Nomor 2

Hubungan Antara Kesehatan Mental dengan Kecerdasan Emosinal

Manusia merupakan bentuk ciptaan paling sempurna yang ditandai dengan diberikan sebuah akal pikiran yang dikoordinasikan secara sempurna oleh sebuah organ yang disebut otak. Didalam otak itu sendiri terdapat bagian-bagian yang secara fungsional bekerja sama untuk menjalankan tugas sebagai ‘pusat pengendalian tubuh manusia.
Seperti yang sudah saya pelajari sebelumnya, bahwa otak memiliki 3 serangkai yaitu: R-Complex, Lymbic System, dan Neocortex. Setiap bagian mempunyai tugasnya masing-masing, namun saya akan menjelaskan bagian Neocortex karena bagian nilah yang berhubungan dengan pembahasan Hubungan Antara Kesehatan Mental Dengan Kecerdasan Emosional. Neocortex disebut juga otak berpikir karena segala aktivitas berpikir seperti nalar,pembicaraan, tingkat kecerdasan diolah di bagian ini.
Kecerdasan Emosi (EQ) merupakan kemampuan tiap individu dalam menguasai dirinya sendiri, terlebih saat ditempatkan pada kondisi tertentu. Menentukan bagaimana seseorang dalam menyikapi sesuatu. Adapun yang mencakup EQ adalah: self awareness (kepekaan diri), self acceptance (penerimaan diri), self respect (menghargai diri), yang bisa disebut juga dengan ‘pusat mental manusia’. Artinya, kecerdasan emosional sangat berkaitan dengan kesehatan mental yang keduanya sama-sama dikendalikan oleh tiga serangkai otak. Apabila seseorang memiliki kecerdasan emosional yang bagus, dalam artian memiliki EQ yang mampu menyesuaikan dengan lingkungan sekitar secara baik maka secara otomatis kesehatan mentalnya pun bisa dikatakan baik. Namun sebaliknya, apabila bagian otak neocortex yang mengatur kecerdasan emosional mengalami gangguan, akan mengakibatkan EQ seseorang pun menurun performanya, sehingga kesehatan mentalnya pun akan mengalami penurunan kualitas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental dengan kecerdasan emosional memiliki keterkaitan satu sama lain,  Artinya semakin tinggi kecerdasan emosi siswa maka akan semakin tinggi pula kesehatan mental siswa, hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi berbanding lurus dengan kesehatan mental siswa.

Tugas Kesehatan mental Nomor 1

FENOMENA DEPRESI
  1. 1.      DEFINISI
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP (terutama pada sistem limbik) (Maslim, 2002).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan, 2010).
Menurut Wikipedia Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih. Kalau menurut saya, depresi bisa diartikan sebagai suatu kondisi manusia dimana akal fikiran manusia terganggu dan disertai perasaan sedih , kehilangan minat, dan kegembiraan sehingga mengakibatkan mood seseorang menjadi terganggu.

  1. 2.      JENIS-JENIS DEPRESI
Jenis-jenis depresi dapat digolongkan kedalam beberapa jenis. Jenis depresi diklasifikasikan berdasarkan penyebab depresi. Penggolongan atau klasifikasi depresi hingga saat ini diakui masih sukar diterima kalangan psikiater. Depresi dikenal sebagai sindroma yang secara klinik heterogen, dalam arti tidak terdapat satu cara kasifikasi untuk penggolongan depresi yang diterima secara universal.
Menurut Lumongga (2009) ada beberapa jenis-jenis depresi, seperti yang akan di jelaskan di bawah ini.
  1. A.    Depresi Berdasarkan Tingkat Penyakit
Menurut klasifikasi organisasi kesehatan dunia “World Health Organization” (WHO) (dalam Lumongga, 2009), berdasarkan tingkat penyakitnya, depresi menjadi: 
  1. Mild depression/minor depression dan dysthymic disorder. Pada depresi ringan, mood yang rendah datang dan pergi dan penyakit datang setelah kejadian stressfull yang spesifik. Individu akan merasa cemas dan juga tidak bersemangat. Perubahan gaya hidup biasanya dibutuhkan untuk mengurangi depersi jenis ini. Minor depression ditandai dengan adanya dua gejala pada depressive episode namun tidak lebih dari lima gejala depresi muncul selama dua minggu berturut-turut, dan gejala itu bukan karena pengaruh obatan-obatan atau penyakit. Bentuk depresi yang kurang parah disebut distimia (Dystymic disorder). Depresi ini menimbulkan gangguan Minor Depression ringan dalam jangka waktu yang lama sehingga seseorang tidak dapat bekerja optimal. Gejala depresi ringan ada gangguan distimia dirasakan minimal dalam jangka waktu dua tahun.
  2. Moderate Depression. Pada depresi sedang mood yang rendah berlangsung terus dan individu mengalami simtom fisik juga walaupun berbeda-beda tiap individu. Perubahan gaya hidup saja tidak cukup dan bantuan diperlukan untuk mengatasinya.
  3. Severe depression/major depression. Depresi berat adalah penyakit yang tingkat depresinya parah. Individu akan mengalami gangguan dalam kemampuan untuk bekerja, tidur, makan, dan menikmati hal yang menyenangkan dan penting untuk mendapatkan bantuan medis secepat mungkin. Deperesi ini dapat muncul sekali atau dua kali dan beberapa kali selama hdup. Major depression ditandai dengan adanya lima atau lebih simtom yang ditunjukan dalam major depressive episode dan berlangsung selama 2 minggu berturut-turut.
    1. Depresi Berdasarkan Klasifikasi Nosologi
Kasifiasi nosologi dari keadaan depresi telah terbukti bernilai dalam praktik klinik dan telah dibakukan oleh World Health Organization (WHO). Menentukan suatu kasus depresi pada kategori nosologi yang tepat merupakan hal yang penting. Untuk mencapai hal itu diperlukan penilaian yang menyeluruh dari semua fakta yang diperoleh dari eksplorasi keadaan psikologisnya. Dan tidak kurang pentingnya adalah yang disebut miieu situation seperti hubungan penderita dengan lingkungan di mana dia tinggal dan ekerja (Lumongga, 2009).
Jenis-jenis depresi menurut World Health Organization (WHO) (dalam Lumongga, 2009), berdasarkan tingkat penyakitnya, dibagi menjadi depresi psikogenik, depresi endogenik dan depresi somatogenik.
Jenis-jenis depresi menurut WHO berdasarkan tingkat penyakit adalah di bawah ini:
  • Depresi Psikogenik
Depresi psikogenik terjadi karena pengaruh psikologis individu. Biasanya terjadi akibat adanya kejadian yang dapat membuat seseorang sedih atau stress berat.
Berdasarkan pada gejala dan tanda-tanda, terbagi menjadi: 
  1. Depresi reaktif. Merupakan istilah yang digunakan untuk gangguan mood depresi yang ditandai oleh apati dan retardasi atau oleh kecemasan dan agtasi. Dan yang ditimbukan sebagai reaksi dari suatu pengalaman hidup yang menyedihkan. Dibandingan dengan kesedihan biasa, depresi ini lebih mendalam berlangsung lama tetapi jarang melampaui beberapa minggu.
  2. Exhaustion depression. Merupakan depresi yang ditimbulkan setelah bertahun-bertahun masa laten, akibat tekanan perasaan yang berlarutlarut, goncangan jiwa yang berturut atau pengalaman berulang yang menyakitkan.
  3. Depresi neurotic. Asal mulanya adalah konflik-konflik psikologis masa anak-anak (seperti keadaan perpisahan dengan ibu pada masa bayi, hubungan orang tua anak yang tidak menyenangkan) yang selama ini disimpan dan membekas dalam jiwa penderita. Proses represi baik yang sebagian maupun yang seluruhnya dari konfik-konflik tadi merupakan sumber kesulitan yang menetap dan potensial bagi timbulnya depresi di kemudian hari. Jauh sebelum timbulnya depresi sudah tampak adanya gejala-gejala kecemasan, tidak percaya diri, gagap, sering mimpi buruk, dan enuresis. Juga gejala jasmaniah seperti banyak berkeringat, gemetar, berdebar-debar, gangguan pencernaan seperti diare dan spasm
  • Depresi Endogenik
Depresi ini diturunkan, biasanya timbul tanpa didahului oleh masalah psikologis atau fisik tertentu, tetap bisa juga dicetuskan oleh trauma fisik maupun psikis, kebanyakan depresi endogen berupa suatu depresi unipolar.
  • Depresi Somatogenik
Pada depresi ini dianggap bahwa faktor-faktor jasmani berperan dalam timbulnya depresi, terbagi dalam beberapa tipe: 
  1. Depresi organic. Disebabkan oleh perubahan perubahan morfologi dari otak seperti arteriosklerosis serebri, demensia senelis, tumor otak, defisiensi mental, dan lain-lain. Gejala-gejalanya dapat berupa kekosongan emosional disertai ide-ide hipokondrik. Biasanya disertai dengan suatu psychosyndrome akibat kelainan lokal atau difusi di otak dengan gejala kerusakan short term memory, disorientasi waktu, tempat, dan situasi disertai tingkah laku eksplosif dan mudah terharu.
  2. Depresi simptomatik. Merupakan depresi akibat atau bersamaan dengan penyakit jasmaniah seperti Penyakit infeksi (hepatitis, influenza, pneumonia), Penyakit endokrin (diabetes mellitus, hipotiroid), Akibat tindakan pembedahan, Pengobatan jangka panjang dengan obat-obatan antihipertensi, Pada fase penghentian kecanduan narkotika, alkohol dan obat penenang.

  1. 3.      PENYEBAB
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
  1. A.     Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld et al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004). Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2002).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001). Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).
  1. B.     Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot (Davies, 1999).
Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
  1. C.      Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi (hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.
Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010).
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010)
  1. 4.      DAMPAK
Dilihat dari faktor – faktor penyebab depresi, bisa kita ambil dampak yang akan terjadi akibat depresi tersebut. Di bawah ini akan dijelaskan dampak-dampak depresi secara lebih rinci.
  1. Bunuh Diri
Walaupun banyak orang yang depresi yang tidak bunuh diri, depresi yang tidak ditangani dapat meningkatkan resiko percobaan bunuh diri. Sangat sering bagi individu yang mengalami depresi memiliki pikiran untuk bunuh diri (Lumongga, 2009).
  1. Gangguan Tidur : Insomnia dan Hypersomnia
Insomnia atau kesulitan tidur bukanlah suatu penyakit, insomnia adalah cara tubuh bereaksi terhadap stress, jumlah waktu tidur yang dibutuhkan oleh tiap orang berbedabeda, kebanyakan orang dewasa memerlukan tidur delapan jam setiap malam, jika kita tidak mendapatkan cukup tidur, kita akan merasa mengantuk di siang harinya. Pola tidur berubah sesuai dengan usia, misalnya, orang yang lebih tua tidur siang dan lebih sedikit di malam hari (Kusumawardhani, 2006)
  1. Gangguan dalam Hubungan
Sebagai akibat dari depresi, seseorang cenderung mudah tersinggung, senantiasa sedih sehingga lebih banyak menjauhkan diri dari orang lain atau dalam situasi lain menyalahkan orang lain, hal ini menyebabkan hubungan dengan orang lain menjadi tidak baik (Lumongga, 2009).
  1. Gangguan dalam Pekerjaan
Pengaruh depresi sangat terasa dalam kehidupan pekerjaan seseorang. Depresi meningkatkan kemungkinan dipecat dan pendapatan yang lebih rendah. Depresi mengakibatkan kerugian dalam produksi karena absenteisme ataupun performa yang sangat buruk. Pekerja dengan depresi juga kehilangan lebih banyak waktu karena kesehatan yang buruk daripada pekerja yang tidak mengalami depresi (Lumongga, 2009).
  1. Gangguan Pola Makan
Depresi dapat menyebabkan gangguan pola makan dan gangguan pola makan dapat menyebabkan depresi, pada orang yang menderita depresi terdapat dua kecenderungan umum mengenai pola makan yang secara nyata mempengaruhi berat tubuh badan yaitu, tidak selera makan dan keinginan makan-makanan yang manis bertambah. Beberapa gangguan pola makan yang diakibatkan oleh depresi adalah bulimia nervosa, anoreksia nervosa dan obesitas (Kusumawardhani, 2006).
  1. 5.      ALTERNATIF PENANGGULANGAN
Penanggulangan depresi dibagi dua : terapi psikososial dan terapi biologi melalui pemberian obat.
Pemberian obat anti depresan berfungsi untuk meningkatkan atau mengatur kembali serotonin dan norepinefrin agar seimbang. Biasanya obat bersifat serotonergik dan  noradrenergik yang artinya meningkatkan serotonin atau norepinefrin ataupun keduanya. Ada beberapa obat antidepresan misalnya golongan serotonin selective re-uptake inhibitor (SSRI).
Pendekatan lain adalah terapi psikososial melalui konseling psikologi dan psikoterapi. Psikoterapi yang paling cocok untuk penderita depresi adalah Cognitive behavior therapy (CBT), yaitu terapi yang mengajak penderita untuk mempelajari bagaimana mencerna atau mempersepsikan peristiwa kehidupannya. Mulai dari persepsi yang tidak rasional/negatif dibawa ke persepsi yang  rasional/positif.
Pada depresi ringan, pengobatan cukup dilakukan dengan pendekatan psikososial misalnya konseling, psikoterapi dan CBT. Depresi sedang atau berat selain terapi psikososial juga harus diberikan obat, bahkan ditambah dengan  Electro Shock Therapy (EST), yaitu terapi elektro kompulsif atau sering disebut terapi kejang listrik.  Penderita diberikan kejang listrik dikepala yang akan menimbulkan respon kejang untuk perubahan  neurokimia diotaknya sehingga menimbulkan regulasi neurokimia.
Depresi dapat  dipulihkan atau dikontrol. Pola hidup yang salah dapat memicu timbulnya depresi.Untuk depresi kambuhan ,obat diberikan sampai 6 bulan, setelah itu dihentikan. Dan untuk penderita yang sering kambuh biasanya obat diberikan 1-2 tahun. Secara umum pengobatan depresi minimal 6 bulan. Jika cuma 2 minggu atau 2 bulan hanya akan menimbulkan efek penyembuhan sementara atau hanya menekan gejala. Obat-obat anti depresan baru bermanfaat setelah pemakaian minimal 2 minggu-1 bulan.
Secara Umum efek samping obat anti depresan adalah :
  • Mual
  • Muntah
  • Mengantuk
  • Insomnia
  • Sakit kepala
  • Berkeringat
  • Penambahan berat badan
  • Konstipasi
  • Mulut kering
  • Tremor
  • Disfungsi seksual
  • Nyeri otot
  • Kemerahan
Khusus untuk depresi prahaid, dokter biasanya akan memberikan pyridoxine (vitamin B6) setiap hari. Jika depresi akibat infeksi, maka jangan terlalu tergesa-gesa kembali ke jadwal  sehari-hari setelah sakit. Jaga makan yang cukup dan tidur yang cukup untuk mempercepat pemulihan.
Perlu diketahui bahwa peran keluarga dan lingkungan sekitar juga ikut mempengaruhi kesembuhan akibat depresi. Jika penderita selalu diingatkan bahwa kita selalu peduli pada mereka, maka ini akan mengurangi dampak depresi seperti perasaan terisolasi (terasingkan), misalnya. Sehingga diharapkan nantinya penderita akan termotivasi untuk bisa pulih kembali.
DAFTAR PUSTAKA

buku : kesehatan mental (kholil lur rochman , s.ag., m.s.i) fajar  media press